Jumat, 04 Desember 2015

Songket Dalam Perkembangan Kain Internasional

Kain tradisional atau wastra traditional Indonesia telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat nusantara sejak zaman prasejarah yang tak hanya menjadi seperangkat sandang dengan nilai fungsional. Kehadirannya telah terbukti menjadi perangkat sosial budaya yang menjadi bagian dari sejarah, penyandang perekonomian masyarakat, pengikat kekerabatan antar suku dan menjadi kebanggaan negeri mewarnai keragaman budaya Indonesia secara utuh. (Baca juga: kain tenun tapis motif kaligrafi)

Ketua Perkumpulan Cita Tenun Indonesia, Okke Hatta Rajasa, berujar kain tenun songket adalah satu artefak dalam budaya yang berperanan sebagai salah satu jatidiri suku bangsa khusus bagi masyarakat Melayu, yang merupakan salah satu etnis terbesar di dunia yang sebarannya mencakup kawasan Asean dan sarat dengan pengaruh ajaran Islam.

Khusus di Indonesia, etnis melayu ini tersebar mulai dari Sumatera (Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Timur, Aceh), Kalimantan, Sulawesi, Bali hingga Lombok.

Songket adalah jenis teknik pembuatan kain tenun dengan cara menambahkan hiasan benang emas atau benang perak pada jalinan benang pakan atau benang lungsi dengan cara menyungkit benang-benang tersebut. Teknik menyungkit benang hias tambahan inilah yang kemudian dikenal dengan nama songket.

Penggunaan benang tambahan emas atau perak ini yang berasal dari Cina atau India, pada saat Islam masuk ke Indonesia mempengaruhi ragam hias corak tenun songket di masyarakat pesisir, di mana wilayah tersebut merupakan sebaran masyarakat suku melayu.

"Oleh karena itu tenun songket yang tersebar dengan berbagai corak ragam hias itu sekaligus merupakan artefak budaya di mana pengaruh Islam dapat dilihat dan dipelajari sebarannya," ujarnya.

Di Sumatera Timur, songket memiliki makna sebagai kain tradisi melayu yang diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya oleh para pemangku adat Kesultanan-kesultanan Sumatera Timur (Kesultanan Negeri Langkat, Kesultanan Deli, Kesultanan Negeri Serdang, Kesultanan Negeri Asahan, dan Kesultanan Kualuh) dengan ciri khas daerah setempat. Menurut tradisi, kain songket hanya boleh ditenun oleh anak dara atau gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun songket. Beberapa kain songket tradisional Sumatra memiliki pola yang mengandung makna tertentu.

Dengan memahami pentingnya dan tingginya arti kain tradisional bagi kebudayaan bangsa yang sangat kaya ragam dan hampir kita jumpai di semua propinsi di tanah air, untuk itulah bersama perkumpulan Cita Tenun Indonesia, sejak tahun 2008, pihaknya berupaya melestarikan kain tradisional, khususnya kain tenun, melalui berbagai program. Mulai dari pemberdayaan perajin, pengembangan ketrampilan perajin, pemasaran dan promosi atas produk yang dihasilkan, hingga pengetahuan terkini, agar kain tenun tradisional dapat terus hadir menjadi bagian dari industri tanah air yang dapat diunggulkan.

"Harapan kami kain-kain tenun tradisional ini tidak hanya menjadi komoditas ekonomi sebagai bagian dari industri tekstil, mode dan interior terkini, tapi turut menjaga kelestarian sejarah budaya melalui nilai yang terkandung di dalamnya yang sekaligus menjadi identitas suku bangsa," jelasnya.

Sumber:

http://www.republika.co.id/

Ternyata Songket Bukan Berawal Dari Indonesia

Pesona kain khas Palembang, songket makin dilirik. Berbagai kreasi dihasilkan dari tekstil asli Sumsel tersebut. Kini kain yang ditenun dengan kekhasan budaya masyarakat Palembang itu sudah bermetamorfosis. 

Tak ada lagi kesan kuno. Songket telah menembus para pemakai dengan level usia dan kalangan yang beragam. Buktinya di Festival Fashion Karnaval Songket Palembang, kemarin. Nampak ragam fashion dengan tema songket dipakai para peserta. Kreasi songket dikreasikan dengan menghasilkan beragam jenis. (Baca juga: koleksi kain songket Lampung)

Meski rata-rata menggunakan songket menjadi kain atau rok, namun kreasinya telah membawa songket tidak semata-mata untuk acara formal. Di barisan peserta asal Kota Palembang misalnya, songket telah dikreasikan dengan gaya fashionlebih ngepop. Songket telah digunakan oleh kalangan anak muda, sebagai topi dan rompi dengan nuansa fashion kalangan abad 20. 

Sementara di sisi lain, laki-laki dewasa menggunakan motif kain songket sebagai bawahan celana. Hampir sama, nuansa yang dibawakan dengan kain songket yang lebih fleksibel. Tidak hanya itu, kain songket juga dikenalkan dalam bentuk rok bawahan dengan tipe potongan A, juga memberikan eksensebagai perempuan modern. 

Sementara itu, pesona kain songket memang tidak lepas dari sisi budaya yang kental. Di barisan peserta yang berasal dari perbankan misalnya, membawakan songket dalam bungkusan tradisi China. Barisan peserta ini menggunakan kreasi songket dengan judul “Laksamana Ceng-Ho”. 

Dikatakan Yusmana, Marketing Manajer Hotel Swarna Dwipa Palembang, sekaligus designer busana, timnya memilih mengkreasikan kain songket dengan tema China bukanlah tanpa sebab. Berdasarkan historisnya, songket telah digunakan sejak lama oleh para raja, termasuk Pengeran Ceng-Ho yang datang hingga menjadi sejarah bagi masyarakat Palembang. 

Songket diabadikan menjadi bagian dari perkembangan masyarakat Palembang yang tidak lepas dari kultur China. “Lihat saja misalnya, songket yang identik dengan benang-benang emas. Kami pilih Ceng-Ho karena ingin mengingatkan sejarah songket Palembang. Tadi songketnya dikreasikan seperti keluarga kerajaan,” ungkap Yusmama yang mengaku sebagai masyarakat asli Palembang. 

Ia mengatakan, kain songket kini sudah makin kreatif. Berbagai motif telah lahir dari beragam motif asli dan modifikasi, dari perkembangan fashionsaat ini. Kain songket sudah berubah lebih modern dan sudah tidak asing lagi digunakan masyarakat. “Berbeda dengan dahulu, yang menganggap songket kain mahal yang hanya dipakai untuk waktu-waktu tertentu. 

Tapi sekarang mungkin motifnya yang dikembangkan dalam bentuk tekstil lainnya,” ungkapnya. Tidak ketinggalan, peserta dari Kabupaten Banyuasin juga mengenalkan kain batiknya. Meski bukan berbentuk kain songket, namun budayawan asli Banyuasin Raden Gunawan ini mengatakan, biasanya masyarakat juga menggunakan kain songket karena secara topografi juga banyak menetap di sekeliling Kota Palembang. 

“Jika Banyuasin tidak ada songket, adanya batik. Jika ingin songket, tentu pakai songket Palembang. Songket kini sudah berkembang dan makin dikenal,” sebutnya. Jika dulu, sambung ia, menggunakan songket hanya untuk kalangan tertentu. Kalangan yang biasa menggunakan songket biasanya kalangan raja, bangsawan, atau masyarakat kelas atas. 

Hal itu cukup realistis mengingat kain songket memang dihasilkan dengan waktu pengerjaan yang lama serta bahan kain dan benang yang mahal. “Tapi kini, songket sudah bermetamorfosis menjadi lebih modern, lebih populer, lebih merakyat dan bisa digunakan setiap saat. Meski bukan songket asli, masyarakat bisa pilih produk tekstil dengan motif songket,”

Sumber:

http://www.koran-sindo.com/

Sabtu, 07 Februari 2015

Hikmah Ramadhan

Kala matahari tenggelam, langit senja pun berangsur-angsur menjadi gelap. Takbir mulai menggema, tanda azan telah berkumandang. Semarak masjid diramaikan oleh langkah-langkah riang anak-anak, menyertai jama’ah yang mulai berdatangan. Di dalam masjid, jama’ah khusyuk menghadap Rabb-nya. Mereka bermunajat, bersujud, menghinakan diri pada Penciptanya. Usai solat, takbir bersahut-sahutan, terdengar keras dari corong suara di atas masjid. Tak terasa, Syawal telah menyambut kita. Bulan telah berganti, Ramadhan berada pada masa akhirnya. Entah, mungkinkah tahun esok kita masih menjumpainya. Namun, yang patut kita renungi, apa yang telah kita perbuat pada Ramadhan kali ini. Dikala masjid-masjid saling bersahut-sahutan takbir, haruskah kita duduk merenung, menyesali atau bahkan menangisi kelalaian kita. Ramadhan seolah berlalu tanpa kita dapat berbuat banyak untuk mengisinya dengan amal kebaikan. Pantaskah kita merayakan kemenangan sejati pada hari yang fitri, atau kita hanya menjadi pecundang, merasakan kemenangan semu, karena kita meraih kemenangan tanpa ikut lelah berperang.
Penyesalan, adalah kata terakhir yang biasa terucap dari lisan kita, tatkala kita mengalami kegagalan. Ternyata semangat kita hanya mampu berkobar pada awalnya. Kobarannya kian padam, seiring berlalunya hari demi hari Ramadhan. Masjid yang pada awal Ramadhan teramat ramai, namun kembali harus menerima nasibnya sebagaimana pada bulan-bulan biasa, ditinggalkan, dan kini kembali sunyi. Masjid sepi, tiada lagi riuh lantunan Al-Qur’an dari para jama’ah, malang nian, harus kembali tergantikan oleh alunan pita rekaman. Demikian tragis suasana Ramadhan kita, tak pernah berubah dari masa ke masa, selalu begitu sedari dulu. Ramadhan kita selalu kering akan makna, monoton, tak pernah ada perubahan. Selalu ramai diawal, dan berujung sepi diakhir, namun akan kembali ramai, tetapi diawal bulan berikutnya. Keramaian justru terjadi ditempat yang lain, di pasar dan dijalanan. Pikiran kita tak lagi sibuk dengan lantunan zikir, namun disibukkan oleh pengeluaran-pengeluaran yang harus disiapkan pada hari perayaan. Kita tak lagi fokus pada lembaran-lembaran Qur’an, namun justru disibukkan dengan lembaran-lembaran rupiah. Kita tak lagi sibuk untuk memperbarui hati kita, akan tetapi kita justru sibuk mempersiapkan pakaian baru untuk lebaran.
Inilah Ramadhan kita, sepi makna rohani. Hari raya pun tak ubahnya dengan pesta hura-hura, menghambur-hamburkan uang, atau sekedar unjuk kekayaan pada sanak saudara dikampung. Kita terseret pada arus materialisme, berkutat hanya pada uang, pakaian, dan makanan dalam memaknai hari raya. Hari raya tak lagi menyentuh hakikat yang sesungguhnya, perayaan bagi para pemenang sejati yang telah berlomba-lomba menuai kebaikan selama sebulan Ramadhan.
Ramadhan sebentar lagi akan meninggalkan kita. Masih ada waktu untuk berbuat yang terbaik untuk Ramadhan kita kali ini. Bahkan, diakhir Ramadhan inilah saat yang terbaik bagi kita untuk meraih banyak kebaikan. Tidak perlu lagi berandai-andai bisa bertemu Ramadhan di tahun yang akan datang. Janganlah biarkan pikiran kita dihinggapi oleh kemungkinan-kemungkinan akan masa depan yang tak pasti. Kita harus berpikir realistis, bahwa pada hari ini kita masih hidup, dan kita masih mampu berbuat sesuatu, sehingga kita bisa memanfaatkan waktu yang masih kita miliki dengan sebaik-baiknya. Berangan-angan, mengharapkan masa depan hadir pada kita, justru menjadikan kita selalu menunda-nunda amal kebaikan.
Di waktu yang tersisa ini, jangan biarkan kita larut dalam gegap gempita persiapan hari raya. Haruskah kita menyesal, tidak memanfaatkan Ramadhan kali ini dengan perjuangan ibadah yang terbaik. Haruskah kita memaki diri sendiri karena lalai dan terbuai oleh harapan-harapan kosong akan bertemu Ramadhan tahun depan. Haruskah kelak kita menangis, kehilangan masa-masa yang penuh berkah dan rahmat seperti Ramadhan kali ini. Kesempatan memang terkadang muncul berkali-kali, namun tidak semua dari kita memiliki keberuntungan seperti itu. Kita seharusnya merenung, sudah berapa kalikah kita bertemu Ramadhan, dan telah untuk kesekian kalinyakah kita kembali menyia-nyiakannya. Jika telah terjadi kesekian kali penyia-nyian ini, lalu mengapa harus terulangi lagi pada saat ini.
Tinggal dalam hitungan jari kita akan berjumpa hari raya. Hari raya yang justru menjadikan kita diliputi perasaan was-was, berapa lagi korban jiwa yang akan berjatuhan. Dikala kita tersenyum akan bertemu kemenangan, namun ada di antara kita yang harus menangis karena anggota keluarganya direnggut nyawanya oleh malaikat maut dijalanan. Pada saat kita seharusnya berebut pahala di akhir Ramadhan yang mulia, namun ada di antara kita yang sibuk berebut tiket di terminal ataupun stasiun. Bahkan, ada pada sebagian kita harus berdesak-desakan antri berebut zakat dan sedekah. Setiap tahunnya, ratusan nyawa hilang sebelum dan sesudah perayaan hari raya. Korban bergelimpangan, darah bercucuran bukan karena gugur di medan jihad, namun terenggut oleh area pembunuhan massal yang bernama jalan raya. Disisi lain, ada pula yang meninggal karena berebut zakat dan sedekah. Mereka berdesak-desakan, berusaha meraih zakat sesegera mungkin. Takut, jika dihari raya perut-perut mereka kelaparan. Ada pula yang harus rela terkapar di rumah sakit, diserang penyakit-penyakit kronis. Balas dendam, setelah sebulan berpuasa, sehingga menyantap segala hidangan yang terasa nikmat. Inilah makna hari raya kita, sampai kapan hari raya kita akan selalu seperti ini.
Ritual, itulah yang menjadikan kita tak pernah fokus pada Ramadhan kita. Ritual hari raya yang unik, yang memang menjadi ciri khas negara kita. Kita patut berbangga, karena ritual itu hanya negara kita yang punya. Namun, sebatas apa kita harus berbangga pada ritual yang unik tersebut, dikala pada saat yang sama, kita harus kehilangan makna Ramadhan yang sesungguhnya. Mengapa justru dikala Ramadhan, tetap terjadi banyak perampokan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Inikah tanda-tanda hilangnya keberkahan Ramadhan di negara tercinta ini. Berulang kali bangsa ini menyambut Ramadhan, namun berulang kali pula korupsi, perzinaan, kriminalitas terjadi dinegara ini. Jumlahnya pun selalu meningkat dari tahun ke tahun. Aksi pembunuhan dan perampokan dilakukan dengan semakin sadis, kasus pornografi serta prostitusi tak juga berujung usai.
Patutlah kita bersedih hati, sebab Ramadhan seakan-akan tak pernah lagi meninggalkan jejak kebaikan dalam diri kita. Ramadhan seolah bulan tanpa makna, tiada yang spesial, sehingga kita tidak memperlakukannya dengan istimewa. Allah telah memberi keistimewaan pada bulan Ramadhan, agar kita bersemangat dalam mengakselerasi derajat ketakwaan kita. Anugerah yang besar ini, tentu tak patut untuk disia-siakan. Kita seharusnya merasa seperti orang yang kelaparan, bersemangat dalam menyantap hidangan pahala yang Allah sajikan di bulan yang penuh berkah ini. Atau, kita seharusnya beraksi sebagaimana halnya pendaki. Bersemangat untuk merengkuh puncak. Sebab, puncak gunung menyajikan panorama alam yang teramat mempesona. Lelah, tetesan keringat, dan hawa dingin tiada lagi peduli. Godaan untuk menyerah pun terabaikan. Semangat terus berkobar demi meraih puncak. Akan selalu ada orang-orang yang lemah dan putus asa dalam setiap pendakian. Hanya mereka yang memiliki tekad yang kuat, yang mampu menggapai puncak. Ketika telah mencapai puncak, maka lelah yang menggerogoti pun hilang seketika. Puncak Ramadhan, tentulah hari raya. Setelah lelah selama kita beribadah pada bulan Ramadhan, kita pun akhirnya merasakan kebahagiaan pada perayaan hari raya, perayaan bagi pendaki-pendaki sejati. Kita pun ingin kembali merasakan semangat ibadah yang berkobar. Ingin mengulangi moment itu lagi, karena ibadah kini bukan lagi suatu paksaan, akan tetapi telah menjadi suatu kenikmatan. Oleh karenaya, di waktu yang masih tersisa ini, kita masih bisa memberikan yang terbaik untuk Ramadhan kita kali ini. Wallahu’alam

Klik sumber

Rabu, 04 Februari 2015

Geografi Lampung

Lampung berada di bagian paling Selatan Pulau Sumatra, berada di daerah tropis dan dilalui oleh garis khatulistiwa. Provinsi Lampung disebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia, disebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa, disebelah Utara berbatasan dengan Sumatera Selatan dan Bengkulu, disebelah Selatan berbatasan dengan Selat Sunda. Luas wilayahnya 35.288 km2.
Beberapa pulau yang termasuk ke dalam wilayah Lampung, sebagian besar berada di Teluk Lampung, antara lain; Pulau Darot, Pulau Legundi, Pulau Tegal, Pulau Sebuku, Pulau Ketagian, Pulau Sebesi, Pulau Poahawang, Pulau Krakatau, Pulau Putus, dan Pulau Tabuan.
Topografi Lampung
Secara topografi, Lampung dapat dibagi dalam lima daerah topografi:
1. Daerah topografis berbukit sampai bergunung, umumnya ditutupi vegetasi hutan primer atau sekunder yang meliputi Bukit Barisan dengan puncak-puncak Gunung Tanggamus, Gunung Pesawaran, dan Gunung Rajabasa. Sedangkan di Utara, terdapat puncak-puncak Gunung Punggung, Gunung Sekincau, dan Gunung Pesagi.
2. Daerah topografis berombak sampai bergelombang yang membatasi daerah pegunungan dengan dataran alluvial, vegetasi yang terdapat di daerah ini adalah tanaman pertanian-perladangan seperti, padi, jagung, dan sayur-sayuran, tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, lada. Daerah ini meliputi Kedaton di wilayah Bandar Lampung; Gedong Tataan di wilayah Pesawaran; Sukoharjo dan Pulau Pugung di Kabupaten Tanggamus; serta Kalirejo dan Bangunrejo di Lampung Tengah.
3. Daerah dataran alluvial sangat luas, meliputi Lampung Tengah sampai mendekati pantai sebelah Timur yang merupakan bagian hilir dari sungai-sungai besar seperti Way Sekampung, Way Tulang Bawang, dan Way Mesuji.
4. Daerah dataran rawa pasang surut, terdapat sepanjang pantai Timur dengan ketinggian 0,5 m sampai 1 m.
5. Daerah river basin, dimana terdapat lima river basin utama, river basin Tulang Bawang, river basin Seputih, river basin Sekampung, river basin Semangka, river basin Way Mesuji.
Sungai-sungai yang mengalir di daerah Lampung antara lain, Way Sekampung (265 km), Way Semaka (90 km), Way Seputih (190 km), Way Jepara (50 km), Way Tulang Bawang (136 km), Way Mesuji (220 km).
Sumber:
Sujadi, Firman. 2012. Lampung: Sai Bumi Ruwai Jurai. Penerbit Cita Insan Madani: Jakarta

Rabu, 21 Januari 2015

Grosir Laris Murah

Kami menghadirkan produk terbaik khas Lampung, yaitu kain tenun tapis kaligrafi. Kain tapis adalah buah karya kebudayaan masyarakat Lampung yang dilestarikan secara turun temurun. Kain tenun dibuat dari benang kapas, sedangkan motifnya dirangkai dari benang emas.

Pembuatannya yang sangat rumit, teliti, cukup lama, namun unik dan etnik, menjadikan kain tapis memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan kompetitif. Tidak heran jika harga kain tapis terbilang cukup mahal, tetapi diminati dan dicari banyak orang. Kualitas terjamin, serta mutu tinggi.

Produk tapis yang kami tawarkan ini, khusus untuk hiasan atau pajangan dinding. Dipigura atau dibingkai, untuk memperindah suasana ruangan dalam rumah, kantor, hotel, atau masjid.

Ukuran panjang = 100 cm dan lebar = 60 cm

Pemesanan dengan menghubungi 085741887228

Tenun Tapis Ayat Kursi Bordir
- Kain tenun asli
- Motif dibordir
- Harga Rp 350.000,- per satuan
- Harga grosir Rp 750.000,- untuk tiga kain

Grosir Murah


Tenun Tapis Ayat Kursi Sulam
- Kain tenun asli
- Motif disulam, tanpa bordir
- Harga Rp 500.000,-



Tenun Tapis Ayat Kursi Full Benang Emas
- Kain tenun asli
- Motif disulam, tanpa bordir
- 90% kain tenun dihias motif benang emas
- Harga Rp 700.000

Grosir Laris